Rabu, 18 Januari 2012

Sedikitnya Teman Perjalanan, Harga Sebuah Kemuliaan

Sedikitnya Teman Perjalanan, Harga Sebuah Kemuliaan
Suatu kali, Umar bin Khathab mendengar seseorang berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit (minoritas).” Beliau bertanya, “Wahai hamba Allah, apa yang kamu maksud dengan golongan minoritas?”
Orang itu menjawab, “Saya menyimak firman Allah, Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.” (QS. Hud: 40), juga firman-Nya, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (QS. Saba’ 13). Kemudian orang itu menyebutkan beberapa ayat lagi. Lalu Umar berkata, “Setiap orang memang lebih faqih dari Umar.”
Fragmen ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa untuk meraih derajat yang tinggi dan mulia, harus bersiap menempuh jalan yang sepi dari teman. Karena orang kebanyakan tidak sanggup menempuh puncak ketinggian. Derajat muslim hanya disandang sebagian kecil dari total penduduk bumi yang luas ini. Di antara sekian banyak muslim, hanya sebagian kecil yang menduduki peringkat mukmin. Dan di antara sekian banyak mukmin, hanya sedikit sekali yang mampu meraih derajat muhsin. Dan begitulah, makin tinggi tujuan, makin sedikit teman perjalanan.
Menyadari Konsekuensi Pilihan
Orang yang memiliki cita-cita mulia, harus menyadari pilihan ini. Ia sama sekali tidak terpengaruh atau larut oleh suara kebanyakan. Tidak pula terwarnai oleh tradisi yang sudah menjadi hegemoni. Baginya, itu bukanlah ukuran. Sufyan bin Uyainah RHM berkata, ”Tempuhlah jalan kebenaran, janganlah merasa kesepian dengan sedikitnya teman perjalanan.”
Fudhail bin Iyadh RHM juga berkata, ”Berpeganglah pada jalan hidayah, jangan ragu akan sedikitnya orang yang menempuhnya jalannya. Jauhilah jalan kesesatan, dan jangan tertipu oleh banyaknya jumlah orang yang bergabung bersama mereka.”
Begitulah semestinya sikap kita dalam memegangi kebenaran, demikian pula usaha kita dalam meraih cita-cita. Bukankah orang yang masuk jannah tanpa hisab lebih sedikit dari penghuni jannah yang lain? Bukankah ’imam fid dien’ (pemimpin dalam agama) lebih sedikit dari pada jumlah makmum yang di belakangnya?
Jika ingin sukses dengan tingginya capaian ilmu dan amal, jangan menjadikan kebiasaan awam sebagai ukuran. Jika usaha kita setara dengan orang kebanyakan, kita baru bisa dikatakan sebagai sembarang orang, belum mencapai kedudukan ’bukan orang sembarangan’.
Ibnu Mas’ud memberi nasihat kepada penyandang al-Qur’an agar berbeda dengan umumnya orang, ”Sudah sepantasnya bagi penyandang al-Qur’an menghidupkan malamnya di saat manusia tidur, shaum di siang hari di saat manusia berbuka, menunjukkan kesedihannya saat manusia bersenang-senang, menangis di saat manusia tertawa, diam saat manusia banyak bicara, khusyu’ saat manusia tampak kesombongannya.”
Bahkan Allah juga mengingatkan kepada para istri Nabi agar menjaga kemuliaan mereka dengan tidak menyerupai orang awam dalam berkata dan berbuat. Tidak sepantasnya mereka meniru wanita lain, dan justru kaum wanitalah yang seharusnya menjadikan mereka sebagai panutan. Allah berfirman,
Wahai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa.” (QS. al-Ahzab: 32)
Ibnu Katsier RHM berkata, ”bahwa jika mereka bertakwa kepada Allah sebagaimana yang Allah perintahkan, maka tak ada wanita yang menyerupai mereka, dan tak ada wanita yang mampu menandingi kemuliaan dan kedudukan mereka.”
Menepis Rasa Keterasingan
Menggapai kedudukan tinggi memang harus bersiap menjadi manusia langka, orang asing dan beda dari yang lain. Adalah manusiawi jika terkadang dia merasa kesepian. Untuk menepis rasa ini, kita bisa bergabung dalam kafilah orang-orang yang jauh keutamaannya di atas kita, meski mereka hidup di zaman sebelum kita. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Mubarak RHM tatkala diajak mengobrol usai shalat beliau menjawab, ”Aku ingin segera bergabung bersama para sahabat dan para tabi’in. Aku ingin membaca kitab dan mencatat perkataan mereka. Sedangkan bila aku nongkrong bersama kalian, apa yang bisa kudapatkan?”
Ini semisal dengan wejangan sebagian salaf yang disebutkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah RHM dalam Madaarijus Saalikin, ”Jika suatu kali kamu merasa kesepian karena sedikitnya teman, maka lihatlah teman perjalanan yang telah berada di depan, berusahalah untuk menyusul mereka. Janganlah pandanganmu terpaku kepada selain mereka (yang lebih lambat dari jalanmu), karena hal itu tak akan berguna bagimu di sisi-Nya. Jika mereka menyerumu untuk melambatkan jalanmu, janganlah menoleh kepada mereka. Karena sekali saja kamu menoleh, mereka bisa mengejarmu. Seperti perumpamaan kijang dan serigala. Sebenarnya kijang lebih kencang larinya dari serigala. Hanya saja tabiat kijang selalu menoleh begitu merasakan sesuatu, dan itu akan memperlambat jalannya. Maka serigala pun bisa menangkapnya, karena dia hanya fokus dengan apa yang menjadi tujuannya.”
Penulis juga pernah mendengar, seorang da’i yang melewati hutan dengan motor, tak sengaja menabrak harimau yang sedang mengejar mangsanya. Harimau terjatuh, namun itu tidak merubah fokusnya untuk mengejar hewan yang sejak semula hendak dimangsanya.
Begitulah mestinya pemburu derajat mulia yang sebenarnya. Selalu fokus dengan cita-citanya yang mulia. Lingkungan ataupun kondisi umumnya manusia yang suka berlambat dan leha-leha semestinya tidak menghambat laju geraknya. Sebagai realisasi dari wasiat Nabi SAW,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Bersungguhlah melakukan apa yang bermanfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa lemah.” (HR Muslim)
Tingkat kegigihan, ketegaran dalam menghadapi segala rintangan, dan optimisme dalam menjawab semua tantangan harus di atas rata-rata umumnya orang. Waktu belajarnya, melebihi waktu belajarnya orang-orang, dan tingkat pengorbanannya melebihi pengorbanan orang-orang sembarangan. Inilah harga yang harus dibayar untuk sebuah kemuliaan, wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah)

Wudhu, Bersihkan Diri Sucikan Hati

Wudhu, Bersihkan Diri Sucikan Hati
Ali bin Husein apabila berwudhu, wajahnya berubah menjadi pucat. Tatkala ditanya, “Apa yang terjadi dengan Anda saat berwudhu?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian, dihadapan siapa aku hendak berdiri menghadap?”
Adalah Ali bin Husein, apabila beliau berwudhu maka wajah beliau berubah menjadi pucat. Tatkala beliau ditanya, “Apakah yang terjadi pada Anda saat berwudhu?” Beliau menjawab, “Tahukah kalian, dihadapan siapa aku hendak berdiri menghadap?”
Lazimnya, tatkala seseorang hendak menemui seorang pejabat yang dihormati dan dicintai misalnya, ia akan memperbagus tampilan sebelum bertemu. Ia akan bersih diri, memakai pakaian yang paling bagus dan memakai minyak yang paling wangi. Ia pun akan bercermin dan meneliti secara detil hal-hal yang sekiranya dapat mengundang kesan tidak baik dalam pandangan pejabat yang dimaksud. Itupun disertai perasaan gugup, takut dan sekaligus berharap akan mendapat sambutan yang baik. Begitulah keadaan seseorang yang hendak menghadap pejabat. Lantas bagaimana keadaan seorang hamba yang sedang mempersiapkan diri untuk menyambut panggilan Pencipta-nya untuk menghadap?
Alasan inilah yang membuat raut wajah Ali bin Husein berubah. Beliau memahami bahwa shalat berarti menghadap dan menyambut undangan Pencipta yang berkuasa untuk berbuat apapun terhadapnya. Sedangkan wudhu adalah persiapan untuk menyambut undangan agung tersebut.
Adapun sekarang, betapa sedikit orang yang mencapai penghayatan demikian dalam. Wudhu hanya sebatas formalitas dan aktifitas lahir yang tidak menyertakan amal bathin. Sehingga, amal yang sejatinya besar ini tidak banyak memberikan pengaruh yang signifikan ke dalam hati, selanjutnya nihil pula dampaknya dalam amal perbuatan.

Wudhu dan Kesucian Hati
Sejatinya, wudhu memiliki dua dimensi kesucian yang menjadi tujuan. Suci lahir dan suci batin. Sisi lahir adalah sucinya anggota badan, dan sisi batinnya adalah penyucian hati dari noda dosa dan maksiat dengan bertaubat. Oleh karena itu Allah menyandingkan antara taubat dan thaharah (bersuci) dalam firmanNya,
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Bada’i al-Fawa’id menjelaskan ayat ini, “Bersuci yang dimaksud ada dua hal; bersuci dari hadits dan najis dengan air, dan bersuci dari kesyirikan dan kemaksiatan dengan taubat. Dan poin kedua inilah yang menjadi inti. Karena bersuci dengan air tidaklah berguna tanpa bersuci dari syirik dan maksiat. Maka mempersiapkan dan mencurahkan kesungguhan untuk mendapatkan kesucian hati lebih diprioritaskan. Sebagaimana seorang hamba tatkala masuk Islam, dia terlebih dahulu membersihkan kesyirikan dengan bertaubat, baru kemudian bersuci dari hadats dengan air.”
Pada kesempatan yang lain, dalam Kitab Ighaatsatul Lahfaan beliau juga berkata, “Dengan hikmah-Nya, Allah menjadikan kebersihan sebagai persyaratan untuk berjumpa dengan-Nya, karena itu seorang yang melaksanakan shalat tidak boleh bermunajat dengan-Nya kecuali setelah bersuci. Demikian pula Allah menjadikan kebersihan dan kebaikan sebagai syarat untuk masuk jannah, sehingga tidak masuk jannah kecuali orang yang baik dan suci. Itulah dua jenis kesucian, suci badan dan suci hati. Karena itu, orang yang selesai berwudhu diperintahkan berdoa,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ.
“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikan aku termasuk orang-orang yang banyak bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang beriman.”  (Lafal ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, shahih dan memiliki beberapa syawahid, seperti yang diutarakan oleh al-Albani dalam al-Irwa’)
Kebersihan hati diperoleh dengan bertaubat dari dosa, sedangkan kebersihan badan bisa diperoleh dengan air. Tatkala seseorang telah memiliki dua macam kebersihan, maka ia layak untuk berjumpa dengan Allah.”

Dan Dosa pun Berguguran
Dosa bagi hati, laksana penyakit bagi badan. Setiap kali bertambah dosa, bertambah pula tingkat keparahan penyakit yang diderita oleh hati. Hingga tatkala tak diiringi dengan penawar, sementra penyakit bertambah akut, lambat laun hati akan mati. Dosa juga menimbulkan karat di hati. Setiap kali jasad melakukan satu dosa, muncullah satu bercak hitam di hati. Jika tidak dibersihkan dan dosa terus bertambah, maka bercak hitam akan memenuhi permukaan hati, hingga hati menjadi buta, gelap dan tertutup dari cahaya iman. Inilah ‘rona’ yang dimaksud dalam firman Allah,
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Muthaffifiin;14).
Wudhu menjadi salah satu penggugur dosa dan pembersihnya, hingga racun hati menjadi tawar, penyakit menjadi hilang dan karat di hati menjadi bersih. Nabi shallallahu alaihi wasallam,
“إِذَا تَوَضّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ (أَوِ الْمُؤْمِنُ) فَغَسَلَ وَجْهَهُ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) حَتّى يَخْرُجَ نَقِيّاً مِنَ الذّنُوبِ”.

“Jika seorang hamba Muslim atau Mukmin berwudhu lalu membasuh wajahnya, akan keluar dari wajahnya setiap dosa yang dilakukan kedua matanya bersamaan dengan keluarnya air atau tetesan air yang terakhir. Jika dia membasuh tangannya, akan keluar dari kedua tangannya setiap dosa yang pernah diperbuat oleh kedua tangannya itu bersama air atau tetesan air yang terakhir. Jika dia membasuh kedua kakinya, akan keluar setiap dosa yang pernah diperbuat oleh kedua kakinya bersama dengan air atau tetesan air yang terakhir, sehingga dia akan keluar dalam keadaan benar-benar bersih dari dosa.” (HR. Muslim)
Wudhu pun harus Khusyu’
Seyogyanya, kita hadirkan hati dan batin kita saat berwudhu. Sadar bahwa anggota wudhu yang kita basuh kerap melakukan dosa, dan kita berharap agar Allah menggugurkan dosa bersamaan tetesan air wudhu. Bukankah apa yang kita basuh di saat wudhu adalah anggota badan yang sering bersentuhan langsung dengan maksiat? Mata memandang yang haram berkali-kali, tangan berbuat aniaya bertubi-tubi, kaki melangkah ke tempat-tempat yang tidak Allah ridhai? Begitupun dengan lisan yang tak terkendali, hingga disunnahkan pula untuk berkumur sebagai penyuci.
Sertakan pula penyesalan dan taubat hati dari segala hal yang bisa mengotori, agar ia menjadi suci. Inilah yang disebut dengan wudhunya hati atau wudhu batin. Seperti perbincangan di antara dua ulama dan ahli ibadah berikut ini,
Suatu hari, Isham bin Yusuf menghadiri majlis Hatim Al-Asham, Isham bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, bagaimanakah cara Anda shalat?” Hatim menjawab, “Apabila masuk waktu shalat aku berwudhu dengan lahir dan bathin.” Isham bertanya, “Bagaimana maksud wudhu lahir dan bathin itu?” Hatim menjawab, “Wudhu lahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sementara wudhu bathin adalah membasuh hati dari tujuh perkara; bertaubat, menyesali dosa yang dilakukan, tidak tergila-gila oleh dunia, tidak mencari pujian orang (riya’), tidak gila jabatan, membersihkan dari kebencian dan kedengkian.”
Antara Air dan Sucinya Hati
Bersuci dengan air memang memiliki kaitan erat dengan bersihnya hati dari dosa. Karenanya, dalam salah satu doa Nabi shallalahu alaihi wasallam berbunyi,
اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

“Ya Allah cucilah dosa-dosaku dengan air, dan salju dan barad (air hujan es).” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, “Bagaimana Allah membersihkan kesalahan-kesalahan dengan air dan salju? Bukankah air panas lebih efektif untuk membersihkan kotoran?”
Beliau menjawab, “Kesalahan-kesalahan menyebabkan hati menjadi panas, kotor dan lemah. Akibatnya, hati menjadi lembek, sementara api syahwat berkobar di dalamnya. Kesalahan dan dosa ibarat kayu bakar yang tersulut api, semakin banyak kesalahan, maka nyala api di hati semakin besar, dan hati semakin lemah. Air akan membersihkan kotoran sekaligus mematikan api. Apabila air tersebut dingin, ini bisa menjadikan badan lebih kuat dan lebih kokoh. Bila air tersebut disertai dengan salju dan barad, maka akan lebih menyegarkan, menguatkan dan mengokohkan badan. Dengan demikian, ia lebih banyak menghilangkan dampak dan pengaruh dari  kesalahan-kesalahan tersebut.”
Begitulah keagungan wudhu, hingga kita pun tahu, tak ada satu syariatpun yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, kecuali mengandung maslahat yang besar. Bukan sekedar formalitas, apalagi hanya iseng. Bahwa ada yang belum merasakan efeknya secara signifikan, itu dikarenakan minimnya pengetahuan, di samping masih jauh dari pengamalan yang benar. Semoga wudhu kita bisa menjadi pembersih bagi diri dan hati kita. (Abu Umar Abdillah)