Selasa, 10 Januari 2012

UWAIS AL-QORNI


cerita sufi
Pada zaman Nabi Muhammad saw, di Negeri Yaman ada seorang pemuda yang bernama Uwais Al-Qorni. Pemuda miskin yang hidup bersama ibunya ini dikenal sangat sholeh, disela-sela kesibukannya mencari nafkah sebagai penggembala ternak (onta dan domba) milik orang lain ia tidak lalai merawat dan mengurus ibunya. Sebab tidak ada lagi sanak famili yang dimiliki dan sejak kecil ia telah yatim. Satu-satunya keluarga yang masih ia miliki hanyalah ibundanya yang sudah tua dan menderita kebutaan dan tuli.
Upah yang ia terima dari menggembala ternak hanya cukup buat hidup dengan ibunya, bila ada kelebihan sering ia berikan kepada tetangganya yang membutuhkan. Oleh karena itu walaupun ia seorang pemuda miskin namun sangat disenangi dan dihormati oleh tetangganya.
Ajaran Islam yang mendidik dan mengajarkan akhlak yang luhur, dalam waktu yang relatif singkat memperoleh simpati dan telah memiliki penganut yang cukup banyak di Negeri Yaman. Demikian pula dengan Uwais Al-Qorni, ia telah mengenal dan mengamalkan ajaran tersebut dengan tekun. Adapun cerita tentang Nabi sering ia dengar dari para tetangga yang telah berkunjung ke Madinah. Pada masa itu sudah banyak penduduk Yaman yang berkunjung ke Madinah untuk bertemu Nabi saw, mereka ingin menerima ajaran langsung dari Beliau saw, yang kemudian akan mereka sebar luaskan setelah kembali di Negerinya.
Ketika Uwais Al-Qorni mendengar berita tentang perang uhud, yang menyebabkan Nabi Muhammad saw mendapat cedera karena terkena lemparan batu dan giginya patah, maka segera ia menggetok giginya dengan batu hingga patah. Demikianlah kecintaan Uwais Al Qorni terhadap Rasululloh saw.
Dorongan cinta dan rindu Uwais Al-Qorni terhadap Nabi membuat dirinya ingin berkunjung ke Madinah untuk menemuainya. “Kapan aku dapat menziarahi Nabi Muhammad s.a.w. dan memandang wajahnya dari dekat” demikian kata hatinya. Namun di sisi lain ia tidak dapat meninggalkan ibunya begitu saja. Hal ini membuat hatinya gelisah, siang-malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah Nabi saw. Hingga suatu hari ia datang mendekati ibunya dan menyampaikan isi hatinya tentang rindunya untuk bertemu Nabi saw, serta memohon agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi Muhammad saw di Madinah.
Mendengar permohonan putranya yang mengharukan itu maka ia-pun memaklumi-nya : “Pergilah wahai Uwais anaku, temuilah Nabi di rumahnya, dan bila telah berjumpa dengannya segeralah engkau kembali pulang”. Mendengar ucapan ibunya yang mengijinkan untuk pergi, Uwais sangat gembiranya hatinya. Maka  segera ia berkemas dan menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, sambil berpesan kepada beberapa tetangga dekatnya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Setelah berpamitan dan mencium ibunya maka berangkatlah ia menuju Madinah. Perjalanan ia tempuh dengan berjalan kaki dengan melewati perbukitan dan gurun pasir yang sangat luas, dengan alam yang sangat keras serta banyak gangguan, mulai dari penyamun - panasnya gurun pasir di siang hari bagaikan lautan api sedang pada malam hari dinginnya sampai terasa menusuk tulang. Namun hal ini tidak dirasakannya karena kemauannya yang kuat untuk bertemu dan memandang wajah Nabi orang yang selama ini dicintai dan dirindukan.
Tidak diceritakan berapa lama perjalanan yang ia tempuh. Setibanya di Madinah Uwais Al-Qorni segera mencari rumah Nabi Muhammad saw. Dan untuk menemukan rumah Nabi bukanlah pekerjaan yang sulit. Setelah berada didepan pintu rumah Nabi ia ucapkan “assalamu’alaikum” dengan khidmat dan sopan, karena tidak segera ada jawaban dari dalam rumah yang terlihat sepi maka Uwais mengulang ucapan salam hingga beberapa kali. Setelah menunggu beberapa saat barulah ada jawaban dari seorang wanita “wa’alaikum salam” dengan tergopoh-gopoh wanita tersebut menuju pintu untuk menemui Uwais. Di hadapan wanita tersebut, dengan penuh hormat Uwais menceritakan asal usulnya dan mengutarakan maksudnya. Wanita itu, yang ternyata adalah Siti Aisyah r.a. menjelaskan bahwa Nabi yang ingin dijumpainya sedang tidak ada dirumah dan entah sampai kapan Beliau kembali. Mendengar penjelasan Siti Aisyah r.a. tersebut Uwais Al-Qorni terdiam sesaat, hatinya bimbang “antara ingin menunggu kedatangan Nabi atau segera pulang kembali kepada ibunya”. Uwais bukanlah orang yang mudah terombang-ambing oleh keraguan,  rasa tanggung jawab kepada ibunya yang begitu besar, maka ia lebih memilih untuk kembali. Maka dengan sopan santun ia segera mohon diri kepada Sitti Aisyah r.a. untuk segera pulang ke Yaman, ia hanya menitipkan salam untuk Nabi Muhammad saw yang sangat dicintainya.
Setelah Nabi Muhammad saw kembali dan berada di rumahnya, beliau saw menanyakan orang yang mencarinya. Kemudian Sitti Aisyah r.a. pun menuturkan tentang kedatangan seorang pemuda dari Negeri Yaman yang ingin sekali bertemu dengan Nabi, namun pemuda itu tidak bersedia menunggu sampai Nabi kembali sebab ia tidak dapat lama-lama meninggalkan ibundanya. Nabi menjelaskan mengenai Uwais Al Qorni kepada para sahabat : “ia adalah penghuni langit bila kalian berjumpa ia, perhatikan ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya”. Setelah itu Nabi memandang kepada Ali r.a. dan Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan ia, mintalah do’a dan istighfarnya”

Hidayah Itu Harus Dijemput

 Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
============================

Antara aku dan sahabatku. Di halaman kampus, dibawah pohon akasia yang rindang.
Sambil menikmati semilir angin dan memandangi para temen2 mahasiswa yg berlalu lalang datang dan pergi kuliah.
Sahabatku menunduk sedih. Wajahnya semuram mendung di langit sana.

“Apa kau tak percaya Allah itu ada??”
“Aku percaya…”
“Lalu mengapa kau tidak sholat??”
“…........???” (DIAM)
“Apa kau tak percaya akan datangnya Hari Pembalasan??”
“Tentu saja percaya..”


“Lantas kenapa tidak sholat??”
“…….......???” ( DIAM )
“Tak tahu kah kau, sholat-lah yg membedakan mu’minuun dg kafiruun..”
“Aku tahu itu…”
“Mengapa masih tak kau laksanakan juga sholat-mu??”
“….........” ( MASIH DIAM )

“Tempat kembali orang2 kafir adalah neraka jahannam..”
“Yaa…aku tahu ”
“Tak takut akan siksaNya??”
“Pertanyaan retorik…”
“Hmmmm….. masih tak mau sholat juga??”
“….......?????” ( TETAP DIAM )

“Kapan kau akan mulai sholat??”
“Dulu… aku pernah sholat…malam2ku kuhabiskan dengan bersujud pada-Nya…sepenuh hati ku menyembah-Nya…. setiap saat ku memuja-Nya…”
“Hmmmm…. sungguhkah itu??”
“Kau tak percaya padaku??”
“Aku percaya… hanya saja aku mempertanyakan keikhlasanmu…aku tahu… dulu kau amat rajin berdoa… banyak sekali yang kau minta dalam lantunan doamu.. tapi kesemuanya hanya urusan dunia yg semu…Memang benar firmanNya: 'Berdoalah pada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan doamu’… itu yg kubaca dalam kitab-Nya. Dia tak pernah menyalahi janji”.

“Katanya, Dia-lah tempat kita memohon pertolongan… tapi mengapa tak jua Dia menolongku, justru menimpakan musibah yg tak mampu kutanggung??”
“Sahabatku, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dg kesanggupannya.
Dia hanya sedang mengujimu… kurasa, sepertiku.. Dia mempertanyakan keikhlasanmu dalam menerima cobaanNya..”
“……......????” (DIAM LAGI).

“Tidakkah kau rindu sholat..??”
“Sekarang ini aku tak-kan bisa konsentrasi pada sholatku… aku tak ingin ketika aku sholat, pikiranku justru tertuju pada yg lain…”
“Jadi, menurutmu lebih baik tidak sholat..begitu ??”
“Aku butuh ketenangan batin terlebih dulu…”
“Justru dengan sholat akan kau dapat ketenangan batin itu…”
“Aku ingin ketika aku sholat, itu atas kemauanku.. bukan karenamu.. “
“Bagaimana jika kemauan itu tak kunjung datang..??.”
“Saat badai ini berlalu, ku yakin kemauan itu akan menghampiriku…”
“Jika waktumu tak sampai? Dan kau meninggal lebih dulu..?”
“Maka itu sudah menjadi takdirku…”
“ Astaghfirullah....” T.T..sedih sekali aku mendengarnya. “ Bersabarlah sahabatku..semua ini adalah ujian dariNya..”
“ Aku sudah bersabar lebih dari yang kau tahu..”
“Ayolah sahabat, aku mencintaimu… karena itulah aku peduli padamu“
“Begitu pula aku..”
“Sungguhpun kau membenciku, ku tetap harus mencintaimu…”
“Aku akan selalu mencintaimu..”
“Mengapa tak kau cinta Pencipta-ku??”
“ Caranya...?”

“Dengan sabar dan sholat. Yaa..kenalilah penciptamu dengan mulai menegakkan sholat. Dan bersabar atas ujianNya ”
“Entahlah…saat ini aku belum bisa ”.
“Sahabat..aku kasihan padamu, yg bisa kulakukan kini hanyalah berdoa untukmu.. semoga Allah segera melembutkan hatimu..”


Dan kutinggalkan sahabatku dibawah pohon akasia di halaman kampus. Ujian demi ujian hidup datang padanya bertubi-tubi. Mulai dari ayahnya yg pergi dari rumah dan kawin lagi dengan wanita lain. Kemudian ibunya bunuh diri karena tak kuat dengan cobaan hidup. Kakak lelaki satu2nya yg diharapkan sebagai kekuatan terakhir justru stress dan akhirnya masuk rumah sakit jiwa. Dan puncak dari semua itu dia akhirnya melepas hijabnya, meninggalkan sholat dan kewajiban2 lainnya sebagai seorang mulimah. Itu dilakukan karena merasa kecewa dengan Tuhan dan sebagai bentuk protesnya untukNya. Naudzubillah tsuma naudzubillah...T.T

Kini dia sebatang kara dengan bekerja di restoran untuk biaya hidup dan kuliahnya setiap hari. Hidayah Allah memang belum datang lagi kepadanya, tapi tahukah bahwa hidayah itu tidak datang dengan sendirinya, hidayah itu harus dijemput kembali. Dan aku bertekad untuk membuatnya kembali kejalanNya, dan aku ingin Allah memberiku kekuatan agar diriku menjadi lantaran dirinya kembali menjadi muslimah yg benar2 menjalankan perintahNya. Karena bagaimanapun keadaan kita, sholat bukan lagi sebagai KEWAJIBAN, tapi sudah menjadi KEBUTUHAN !
“Semoga Alloh melancarkan urusanku… hingga kan kudapatkan ketenangan itu, saat itulah ku akan kembali bersimpuh di hadapan Pencipta-mu”
“……”

Pesan yg ingin Saya sampaikan:
Bahwa pada hakekatnya ujian hidup ini adalah sebagai tanda kasih sayang Allah kepada kita. Justru karena Allah sayang sama kita maka Dia memberi ujian. Tinggal bagaimana kita mensikapinya, apakah akan membuat kita lebih mendekatiNya atau justru menyalahkan takdirNya, menganggap Allah telah menzalimi hambaNya.

Jangan mengaku beriman jika hidup kita hanya datar2 saja tanpa cobaan. Justru hidup dengan cobaan akan membuat kita kuat. Menangis dan futur boleh, tapi jangan sampai menghilangkan keyakinan kita bahwa Allah telah menetapkan qadha dan qodarNya atas diri kita, itulah yang terbaik. Tinggal kita bisa menggali hikmahnya atau tidak.
Dan Allah berfirman: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, pdhl belum datang cobaan sebagaimana halnya orang2 sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan dgn macam2 cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang2 beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’, Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat “. ( QS.Al-baqarah; 214 ).

Sayangnya, seringkali kekurangsabaran menunggu tibanya pertolongan Allah itu menyebabkan kita berburuk sangka kepadaNya. Kita menganggap seakan-akan DIA tidak mendengar doa yg kita ajukan. Padahal Allah telah menyatakan:
“ Dan apabila hamba2KU bertanya kepadamu ( Muhammad ) tentang AKU, maka jawablah bahwa sesungguhnya AKU adalah dekat. AKU mengabulkan orang yg berdoa kepadaKU apabila memohon kepadaKU, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintahKU dan beriman kepadaKU, agar mereka selalu dalam kebenaran ( QS.Al-Baqarah; 216 ).
Oleh karena itu, sikap berbaik sangka kepada Allah harus senantiasa kita tancapkan dalam hati. Sehingga pertolongan itupun akhirnya akan datang seiring dengan memuncaknya tingkat kesulitan yg kita hadapi.

Barakallahufikum..jabat erat dan salam hangat
BAnyak sayang dan cinta,
Wassalamualaikum…
--------------------------

“Hati yang Tertutup” Apa yang Engkau Cari di Dunia Ini?

Malam ini, ketika tulisan ini saya buat, gerhana bulan sedang terjadi, yaitu ketika cahaya matahari yang seharusnya dipantulkan bulan terhalang oleh keberadaan bumi yang berada di antaranya. Hal tersebut mengingatkan saya pada pembahasan hati yang saat ini sudah memasuki bagian ke-6. Hati yang menjadi puncak kebahagiaan, yang menjadi sesuatu yang dicari semua orang di dunia ini.
Allah telah menutup hati, pendengaran dan penglihatan mereka. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (Q.S al-Baqarah 2:7)
Hati yang tertutup berbuah pada siksa yang amat berat. Siksa tentulah bukan termasuk kepada kebahagiaan. Tidak ada orang yang ingin disiksa meskipun seringkali seseorang melakukan apa yang membuat dirinya tersiksa. Maka menarik untuk membahas hati yang tertutup tersebut bagaikan banyaknya orang ingin mengabadikan dan melihat bagaimana bulan tak bersinar lagi pada saat gerhana matahari.
Simaklah, bagaimana seorang Nanang Qosim Yusuf dalam bukunya The 7 Awareness membuat permisalan tentang hati, dan tiga lapisan yang telah kita bahas pada catatan sebelumnya. Meskipun pada buku tersebut Naqoy, panggilan akrabnya, menambahkan kata lubb sebagai bagian terdalam, saya lebih condong untuk mencukupkan lapisan hati tersebut kepada tiga bagian, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Bagian-bagian hati, jelas Naqoy dengan perubahan redaksi yang saya lakukan, bagaikan sebuah rumah. Shodr, bagian terluar, ibarat pintu yang dapat terlihat jelas. Pintu juga dapat terpengaruh dari faktor-faktor yang terdapat di luar rumah itu sendiri. Debu yang mengotori pintu rumah misalnya, tidak berasal dari dalam rumah saja, melainkan juga dari luar rumah. Seperti itu pula shodr, yang dapat terpengaruh dari karakter diri sendiri maupun karakter lingkungan yang berada di sekitar kita.
Bagian kedua adalah qolbun. Itu dipermisalkan Naqoy sebagai ruang tamu sebuah rumah. Layaknya ruang tamu, meskipun tidak seperti pintu, ruang tamu tetap saja dapat terpengaruh dari luar. Tuan rumah biasanya sangat memperhatikan ruang tamu jika ada orang yang bertandang, melebihi perhatian ketika tidak ada seorang pun yang berkunjung. Nah, qolbun pun terkadang seperti itu.
Sedangkan fuad adalah ruang privat. Ia adalah kamar dalam diri kita yang bersifat khusus. Tidak terbuka layaknya pintu, tidak sebebas ruang tamu. Fuad mewakili nilai-nilai ilahiyah yang bebas dari pengaruh kemanusiaan. Berbeda dengan shodr yang menggambarkan nilai kemanusiaan itu sendiri, sehingga sering terpengaruh oleh nilai-nilai manusia lain. Terakhir adalah qolbu, berada di antaranya sehingga sering berubah dan berpindah tempat.
Terkait hal tersebut dengan pembicaraan awal, maka sederhana sekali permisalannya. Tak akan tersentuh kebahagiaan seseorang jika pintunya saja tertutup. Hanya dengan keterbukaan shodr, penjernihannya dari ‘kotoran-kotoran’ yang memberi pengaruh, membebaskannya dari  asupan-asupan yang tidak bergizi lagi bermanfaat, membuatnya tampak bersih sehingga nilai–nilai kebahagiaan pun, senang untuk masuk, kemudian menikmati hidangan di ruang tamu yang bersih dan menginap dalam kamar yang berada dalam fuad.
Sungguh, Naqoy telah menggambarkan hati dengan tepat dan menarik. Maka, izinkanlah saya menambah kekuatan permisalan tersebut sambil menutup tulisan ini dengan  kisah populer yang begitu mencerahkan hati berikut ini. Kisah yang saya ambil dari Majalah SWA edisi Mei 2010, tulisan Arvan Pradiansyah.
Seorang pengusaha kaya ingin memilih siapakah diantara tiga anaknya yang mampu mewarisi perusahaannya. Untuk itu diapun menguji ketiganya dengan cara menyembunyikan jam antiknya yang terbuat dari emas di gudangnya yang sangat besar, gelap dan ditimbuni banyak jerami.
Anak pertama masuk dengan membawa pelita dan berusaha membongkar jerami-jerami itu dengan tangannya. Setelah seharian bekerja keras ia belum juga menemukan jam antik ayahnya. Ia kemudian keluar dengan sangat kecewa.
Anak kedua masuk dengan membawa pelita dan tongkat pengais, berusaha membongkar dan mengais-ngais jerami dalam gudang yang gelap dan sangat besar itu. Namun setelah seharian mencari ia tak juga berhasil menemukan jam emas antik itu.
Anak ketiga masuk ke dalam gudang itu tanpa pelita namun dalam beberapa jam kemudian ia keluar dengan membawa jam antik ayahnya. Ini tentu saja sangat mengherankan kakak-kakaknya yang kemudian bertanya kepadanya dimana letak rahasianya. Si bungsu mengatakan bahwa ia masuk ke gudang itu dan duduk diam, tenang dan hening beberapa saat sampai akhirnya ia dapat mendengarkan suara tak-tik-tak jam antik ayahnya dengan jelas dan pelan-pelan ia menelusuri sumber suara itu sampai akhirnya ia tiba pada jam antik emas milik sang ayah.